Colorado Action – Rizki tidak pernah menyangka akan jadi lulusan terbaik. Di Universitas Gadjah Mada, persaingan sangat ketat. Banyak mahasiswa berprestasi dari seluruh Indonesia. Namun kerja kerasnya selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Saat namanya dipanggil di acara wisuda, tangisnya pecah. Ia teringat semua perjuangan, dari bangku sekolah hingga kini. Orangtuanya yang hadir pun ikut menitikkan air mata. Momen itu terasa begitu magis. Semua pengorbanan selama ini terbayar.
Rizki berasal dari keluarga sederhana di desa kecil. Ayahnya seorang buruh tani dan ibunya menjahit di rumah. Meski penghasilan terbatas, orangtuanya selalu mendukung pendidikan. Sejak kecil, Rizki dibiasakan belajar dengan tekun. Ia sering belajar di bawah lampu petromaks karena listrik sering padam. Namun ia tidak pernah menyerah. Semangatnya tinggi karena ingin membanggakan orangtua. Setiap prestasi kecil selalu dirayakan bersama keluarga. Itu menjadi motivasi terbesar bagi Rizki.
“Baca Juga : Mengenal Tradisi Budaya Pisungsung Jaladri Asal Yogyakarta yang Penuh Sarat Makna”
Masuk UGM adalah impian besar Rizki. Ia lolos lewat jalur beasiswa Bidikmisi. Pada awal kuliah, ia merasa minder. Banyak teman berasal dari kota besar dengan fasilitas lengkap. Rizki pernah tidak punya laptop sendiri. Ia harus meminjam teman atau ke perpustakaan. Namun ia terus berusaha mengejar. Ia rajin membaca dan mencatat semua materi. Bahkan sering menjadi tempat bertanya bagi teman-temannya. Dari situ, rasa percaya dirinya tumbuh perlahan.
Selain akademik, Rizki juga aktif di berbagai kegiatan kampus. Ia tergabung dalam organisasi mahasiswa bidang sosial. Juga ikut program pengabdian ke desa-desa terpencil. Salah satu kegiatannya adalah mengajar anak-anak di daerah tertinggal. Di sana, ia menemukan makna belajar yang lebih luas. Bukan hanya untuk nilai, tapi juga untuk membantu sesama. Pengalaman ini membuatnya lebih dewasa dan peka terhadap sekitar. Ia belajar memimpin tim, menyusun program, dan membangun komunikasi.
“Simak juga: Mengenal Tugas Utama Seorang Biksu Buddha”
Selama kuliah, Rizki mendapat bimbingan dari dosen yang perhatian. Mereka tidak hanya mengajarkan teori. Tapi juga memberi nasihat hidup dan semangat. Salah satu dosennya bahkan mengajak Rizki meneliti bersama. Dari situlah ia mulai suka menulis ilmiah. Karya tulisnya sempat dimuat di jurnal nasional. Teman-teman dekat juga banyak memberi dukungan. Mereka belajar bersama, saling memotivasi saat lelah. Persahabatan yang tumbuh di kampus menjadi bagian penting perjalanan Rizki.
Di akhir kuliah, Rizki menulis tesis tentang pertanian berkelanjutan di desanya. Ia melakukan riset langsung ke lapangan. Bertemu petani dan mempelajari metode tradisional. Lalu ia menggabungkan dengan pendekatan ilmiah. Hasilnya mendapat pujian dari dosen pembimbing. Bahkan beberapa instansi tertarik dengan temuannya. Ia ingin hasil penelitiannya bisa diterapkan langsung. Membantu petani di desanya agar lebih sejahtera. Tesis itu bukan hanya tugas akademik. Tapi bentuk bakti kepada tempat asalnya.
Saat pandemi melanda, Rizki hampir menyerah. Kuliah daring membuatnya kesulitan sinyal dan perangkat. Ia harus naik ke bukit untuk mendapat jaringan internet. Kadang ia mengikuti kelas sambil menahan dingin dan angin kencang. Namun ia tetap bertahan. Ia yakin badai pasti berlalu. Saat banyak teman stres, Rizki justru memberi semangat. Ia membuat grup belajar daring dan rutin berbagi materi. Solidaritasnya saat pandemi dikenang oleh banyak teman.
Hari wisuda menjadi titik puncak perjuangannya. Saat namanya disebut sebagai lulusan terbaik, ia tak kuasa menahan tangis. Orangtuanya datang dari kampung. Mereka duduk di barisan paling belakang. Namun sorot mata mereka penuh kebanggaan. Rizki memeluk ibunya erat, sambil berterima kasih. Foto mereka viral di media sosial kampus. Banyak yang terinspirasi oleh kisahnya. Bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.
Dalam wawancara, Rizki berpesan agar mahasiswa tidak takut bermimpi besar. Asal punya tekad dan niat baik, pasti ada jalan. Ia juga menekankan pentingnya kejujuran dan kerja keras. Bukan hanya untuk nilai, tapi juga membentuk karakter. Menurutnya, pendidikan bukan sekadar gelar. Tapi tentang bagaimana kita bisa memberi manfaat. Kata-katanya sederhana, tapi menyentuh banyak orang. Rizki kini menjadi simbol harapan baru.
Setelah lulus, Rizki mendapat tawaran bekerja di lembaga riset. Namun ia belum memutuskan. Ia ingin kembali ke desa dulu. Berkumpul dengan keluarga dan membantu komunitasnya. Ia juga berencana membuka kelas belajar gratis. Bagi anak-anak yang ingin kuliah tapi bingung arah. Ia percaya bahwa keberhasilan harus dibagikan. Bukan hanya dinikmati sendiri. Itulah cara Rizki mensyukuri pencapaiannya.