Colorado Action – Devit, siswa pelosok asal Kecamatan Ulu Musi, Sumatera Selatan, berhasil masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui jalur prestasi. Ia bukan berasal dari keluarga berada. Ayahnya bekerja sebagai petani kopi, sementara ibunya menjahit pakaian di rumah. Keterbatasan fasilitas dan akses internet tidak menghentikan Devit untuk bermimpi besar. Ia belajar dari buku bekas, pinjam HP teman untuk mengakses materi daring, dan mencatat semua pembahasan latihan soal di kertas sisa. Keberhasilannya tidak datang dari kerja individu semata, melainkan karena semangat kolektif dari warga sekitar. Para tetangga turut menyumbang uang saku, guru-guru rela tinggal lebih lama untuk bimbingan tambahan, dan teman-teman sekolah membantu menyalin materi latihan. Dari lingkungan kecil inilah, cita-cita besar Devit bertumbuh dan akhirnya terwujud di salah satu kampus teknik terbaik Indonesia.
Devit, siswa pelosok yang tinggal jauh dari pusat kota, terbiasa hidup dalam keterbatasan. Namun, ia tak pernah sendiri. Tetangganya menyumbang uang hasil panen untuk membayar ongkos tryout. Guru Matematika-nya mengajar ekstra sampai malam. Bahkan kepala sekolah menyediakan ruangan khusus agar Devit bisa belajar dengan tenang. Semua bergerak tanpa diminta. Menurut warga setempat, Devit layak dibantu karena semangat belajarnya luar biasa. Ia sering terlihat membaca di pinggir sawah atau di depan mushola saat listrik mati. Dari tindakan-tindakan kecil itulah, sebuah harapan tumbuh. Kesuksesan Devit bukan hanya miliknya, tapi milik kampung yang percaya pada kekuatan gotong royong.
Tidak ada laptop atau akses Wi-Fi di rumah Devit. Untuk belajar, ia meminjam gawai milik temannya sepulang sekolah. Ia mencatat materi YouTube dengan tangan, lalu mengulasnya malam hari. Buku pelajaran didapat dari donasi guru dan siswa alumni. Untuk latihan soal, Devit menggunakan kertas bekas dan menyalin soal dari papan tulis secara manual. Ketika listrik padam, ia belajar di teras rumah dengan lilin atau lampu minyak. Semua keterbatasan itu tidak menjadikannya lemah. Justru, ia tumbuh menjadi pribadi mandiri dan kreatif. Ia belajar bukan demi nilai, tetapi demi pengetahuan yang benar-benar ia pahami. Pendekatan itu membuatnya unggul dalam ujian berbasis pemahaman, seperti seleksi ITB.
“Simak juga: Antusiasme Warga Watumbohoti & Parasi Ikuti Cek Kesehatan”
Guru-guru di SMA tempat Devit belajar tahu betul potensi yang ia miliki. Maka mereka membuat jadwal khusus bimbingan belajar untuk Devit. Komite sekolah bahkan membebaskan biaya ujian masuk kampus. Komunitas sekolah turut bergerak—mulai dari penggalangan dana, peminjaman fasilitas belajar, hingga pencetakan dokumen administrasi. Teman-teman sekelasnya juga memberi semangat dan membantu latihan soal. Semua merasa bertanggung jawab atas perjalanan Devit menuju ITB. Situasi ini menunjukkan bahwa keberhasilan seorang anak tidak lepas dari dukungan sistem pendidikan yang peduli dan lingkungan sosial yang hidup.
Saat pengumuman SNBP dibuka, Devit tidak memiliki jaringan internet. Ia berjalan hampir 2 kilometer ke rumah kepala dusun yang punya sinyal stabil. Di sana, dengan tangan gemetar dan mata berair, ia membuka laman resmi SNBP. Nama Devit muncul sebagai peserta lolos ke jurusan Teknik Sipil ITB. Tangis haru pecah di ruang sederhana itu. Kabar tersebut cepat menyebar ke seluruh desa. Warga berdatangan membawa makanan dan doa. Mereka tidak hanya merayakan keberhasilan Devit, tapi juga merayakan kekuatan kebersamaan yang berhasil membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.
Kini Devit sedang mempersiapkan keberangkatan ke Bandung. Ia mengurus dokumen, mencari tempat tinggal, dan menyiapkan bekal mental. Dalam setiap wawancara, ia selalu mengingatkan bahwa anak desa punya hak untuk bermimpi besar. Menurutnya, keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Asalkan ada kemauan dan gotong royong, tidak ada batas yang terlalu tinggi. Ia berharap kisahnya bisa memberi semangat bagi anak-anak di pelosok lain, agar tetap percaya diri dan terus berusaha. “Saya cuma anak dusun,” katanya. “Tapi saya tidak mau menyerah, dan ternyata itu cukup.”