Colorado Action – Cecep bukan siapa-siapa saat pertama kali datang ke kota. Ia hanya seorang pemuda kampung tanpa bekal istimewa. Bahkan ijazah SMA pun tak ia kantongi saat itu. Ia datang dengan tas lusuh dan doa dari ibunya. Tak ada kenalan, tak ada saudara, hanya tekad dan semangat. Ia tidur di emperan toko selama beberapa minggu pertama. Pekerjaan pertama yang ia dapat pun bukan pekerjaan resmi. Ia membantu bersih-bersih di masjid kecil dekat pasar tradisional. Tugasnya membersihkan lantai, mengganti serbet, dan menimba air. Tidak ada bayaran tetap, hanya sedekah dari jemaah masjid. Tapi Cecep tidak pernah mengeluh, ia terus bekerja tekun. Ia percaya bahwa rezeki bisa datang dari arah tak terduga. Ia juga mulai rajin ikut pengajian dan kegiatan sosial lainnya. Dari sana, ia mulai dikenal oleh pengurus dan warga sekitar.
Tak lama kemudian, Cecep diangkat sebagai marbot tetap masjid. Ia kini tinggal di kamar kecil yang disediakan oleh pengurus. Setiap hari ia mengumandangkan azan, menyiapkan sajadah, dan bersih-bersih. Ia selalu datang paling pagi dan pulang paling akhir malam. Sikapnya yang sopan membuat banyak orang nyaman berbincang dengannya. Ia juga mulai membantu menulis catatan donasi masjid setiap Jumat. Dari situ, ia belajar mencatat uang dan mendata barang masuk. Ia pun dipercayakan memegang kunci gudang dan ruang imam utama. Kepercayaan itu tidak datang tiba-tiba, tapi melalui proses panjang. Ia tidak pernah mengambil sepeser pun dari uang donasi. Bahkan sering terlihat menyumbangkan uang receh dari sakunya sendiri. Dalam beberapa tahun, Cecep menjadi sosok penting di lingkungan masjid. Anak-anak sering bermain di sekitar masjid dan menyapanya akrab. Ia pun menjadi panutan bagi para remaja di kampung tersebut.
Cecep mulai menyisihkan uang dari hasil kerja serabutan lainnya. Selain marbot, ia mulai ditawari pekerjaan mencuci pakaian jemaah. Beberapa jemaah mempercayainya untuk membantu di rumah mereka. Ia mencuci, menyapu, hingga membantu memasak saat ada hajatan. Setiap hari ia sisihkan sedikit demi sedikit ke celengan kayu. Ia menulis kata “Baitullah” di bagian depan celengan itu. Meski pendapatannya kecil, niatnya untuk naik haji sangat besar. Ia tidak pernah membuka celengan kecuali untuk menghitung sesekali. Ia juga mulai rajin membaca buku-buku agama dan manasik haji. Saat ceramah berlangsung, ia duduk paling depan dan mencatat. Bahkan ia sering diminta membacakan ayat saat tahlilan. Impian itu menjadi tujuan utamanya selama lebih dari 10 tahun. Banyak orang menganggap impiannya terlalu tinggi dan mustahil. Namun Cecep tetap yakin, Tuhan pasti menunjukkan jalan terbaik.
“Simak juga: Heboh Tradisi Attumate di Takalar, Keluarga Jenazah Sumbangkan Perabotan Untuk Warga”
Suatu hari, salah satu jemaah masjid mengumpulkan pengurus. Mereka sepakat untuk memberikan kejutan kepada Cecep yang setia. Lewat kotak donasi khusus, mereka kumpulkan uang untuknya. Tak lama kemudian, jumlahnya cukup untuk memberangkatkan satu orang. Saat diumumkan, Cecep tidak percaya dan menangis tersedu-sedu. Ia tidak pernah menyangka akan pergi ke Tanah Suci begitu cepat. Banyak jemaah ikut menangis dan memeluknya dengan haru. Ia segera mengurus dokumen dan mulai mengikuti pelatihan haji. Ia menjadi peserta paling rajin dalam setiap simulasi dan bimbingan. Bahkan ia membuat catatan kecil yang ia bawa ke mana-mana. Banyak yang menawarkan bantuan logistik dan perlengkapan haji. Cecep pun berangkat ke Mekah dengan pakaian putih sederhana. Ia mencium tanah suci sambil memanjatkan syukur tak terhingga. Setiap ibadah dijalankannya dengan hati penuh rasa haru dan khusyuk.
Sepulang dari Tanah Suci, Cecep tak berubah menjadi sombong. Ia tetap menjadi marbot dan membersihkan masjid setiap hari. Namun kini, masyarakat memandangnya dengan lebih penuh hormat. Anak-anak memanggilnya “Pak Haji Cecep” dengan bangga dan senyum. Dia mulai diundang menjadi pembicara dalam kegiatan remaja masjid. Ia berbagi kisahnya dalam berbagai kesempatan, menginspirasi banyak orang. Ia mengatakan bahwa kebaikan kecil akan kembali dalam bentuk besar. Banyak warga yang mulai ikut menabung untuk naik haji sejak itu. Bahkan beberapa pemuda mulai rutin datang ke masjid untuk belajar. Cecep menjadi simbol harapan bagi mereka yang merasa tak punya apa-apa. Ia membuktikan bahwa kerja tulus tak pernah sia-sia dalam hidup. Kini ia juga membimbing jemaah lansia dalam pelatihan manasik. Ia menjadi pengingat bahwa mimpi besar bisa datang dari serbet masjid.