Colorado Action – Di sebuah desa kecil di lereng pegunungan Jawa, hidup seorang perempuan bernama Rofiah. Sehari-harinya ia bekerja sebagai guru PAUD sambil membantu ibunya bertani. Namun siapa sangka. Rofiah bukan hanya sekadar perempuan desa biasa. Ia dikenal oleh warga sebagai sosok yang aktif, pemberani, dan konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan di komunitasnya. Namanya kini kerap disebut dalam berbagai forum perempuan tingkat kecamatan. Ia menolak untuk menyerah pada keterbatasan. Rofiah telah menjadi teladan, seperti Kartini yang tak gentar melawan arus zaman demi pendidikan dan kemandirian perempuan.
“Baca Juga : Faktor Utama Penyebab Masalah Sosial dan Pelanggaran HAM di Masyarakat”
Rofiah percaya bahwa pendidikan adalah alat paling kuat untuk mengubah kehidupan. Ia menyisihkan sebagian pendapatannya untuk mendirikan ruang baca di rumah kayunya. Buku-buku bekas ia kumpulkan dari para donatur. Ia mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan mengenal dunia lebih luas. Tidak hanya itu. Ia juga mengajar ibu-ibu muda belajar mengelola keuangan keluarga dan membaca huruf latin. Setiap sore, ruang tamunya berubah menjadi kelas kecil. Suasana hangat dan penuh semangat selalu terasa. Bagi Rofiah, perempuan desa tidak boleh menjadi penonton. Mereka harus terlibat. Harus mampu mengambil peran.
Di desanya, perempuan kerap dipaksa menikah muda dan tidak lanjut sekolah. Rofiah menentang keras praktik ini. Ia melakukan pendekatan kepada orang tua dan tokoh masyarakat. Ia menjelaskan dampak pernikahan dini terhadap masa depan anak perempuan. Tidak mudah. Beberapa kali ia dicibir karena terlalu “berani” dan “melawan adat.” Namun Rofiah tidak gentar. Ia justru semakin kuat. Ia terus hadir di forum RT dan pengajian. Menyuarakan pentingnya menjaga hak pendidikan anak perempuan. Lambat laun, perubahan mulai terlihat. Banyak orang tua mulai berpikir ulang. Mereka kini lebih terbuka.
“Simak juga: Dedi Mulyadi Gandeng Sosok Inspiratif, Susi Pudjiastuti“
Rofiah juga dikenal sebagai penghubung antara warga dan berbagai program pemberdayaan perempuan dari pemerintah. Ia membantu ibu-ibu mengakses pelatihan menjahit dan keterampilan UMKM. Ia menjadi narahubung koperasi desa yang memberikan bantuan modal kecil. Berkatnya, kini sudah ada lima ibu rumah tangga yang memulai usaha sendiri. Ia membantu warga mengurus dokumen seperti KTP dan BPJS. Keberadaan Rofiah membuat warga merasa tidak sendiri. Ia tidak hanya bicara. Ia turun langsung, membantu, dan memantau hasilnya. Inilah yang membuat masyarakat percaya dan mendukung langkah-langkahnya.
Rofiah dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh tani dan ibunya seorang penjual sayur keliling. Sejak kecil ia terbiasa hidup prihatin. Namun orang tuanya menanamkan nilai kejujuran dan kerja keras. Ia bersekolah dengan beasiswa dan menempuh kuliah jarak jauh lewat bantuan program pemerintah. Rofiah selalu mengatakan bahwa perubahan sosial dimulai dari meja makan. Dari percakapan keluarga. Dari teladan yang diberikan orang tua. Ia ingin adik-adiknya juga meraih mimpi. Tidak ada alasan untuk berhenti belajar, meski di tengah keterbatasan.
Perjalanan Rofiah tak berhenti di lingkup desanya. Ia mulai dikenal oleh aktivis dan penggerak perempuan dari daerah lain. Ia diundang untuk berbagi kisah dalam diskusi publik di tingkat kabupaten. Dalam setiap kesempatan, ia selalu tampil sederhana. Mengenakan kebaya sederhana dan tas anyaman lokal. Namun isi pidatonya kuat dan menyentuh. Ia bicara soal ketimpangan. Soal mimpi. Soal keinginan perempuan desa untuk turut bersuara. Banyak peserta menangis mendengarnya. Ia tidak sedang berteori. Ia berbicara dari pengalaman hidup. Dari perjuangan nyata yang ia jalani sendiri.
Kini Rofiah tidak berjalan sendirian. Ia membentuk kelompok perempuan desa bernama “Purnama Perempuan.” Mereka rutin berkumpul setiap dua minggu sekali. Membahas masalah keluarga, ekonomi, hingga kesehatan mental. Mereka belajar bersama, saling menguatkan, dan saling menginspirasi. Rofiah memimpin tanpa harus berteriak. Ia menginspirasi lewat tindakan. Lewat konsistensi. Lewat keberanian. Tidak sedikit perempuan yang dulu pasif, kini berani bersuara. Rofiah telah menyalakan lentera kecil di desanya. Dan cahaya itu mulai menyebar. Pelan tapi pasti.