Colorado Action – Pagi hari di Lewotobi terasa sibuk dan penuh semangat. Asap dari dapur umum mulai mengepul sejak fajar. Para relawan datang lebih awal dari biasanya. Mereka langsung memakai celemek dan sarung tangan. Sementara itu, beberapa ibu-ibu menyiapkan bahan masakan. Potongan wortel, kentang, dan ayam tertata rapi di meja kayu. Di pojok lain, anak-anak muda menyusun bungkusan makanan. Mereka bekerja cepat dan kompak sepanjang waktu. Suara pengaduk nasi dan wajan terdengar bersahut-sahutan. Selain itu, aroma masakan menyebar ke seluruh area. Warga yang datang ke posko disambut hangat. Beberapa terlihat membantu tanpa diminta. Dengan demikian, suasana dapur berubah jadi simbol solidaritas. Semua orang bekerja untuk tujuan yang sama.
Setiap pagi, para relawan mengadakan briefing singkat. Mereka membagi tugas sesuai keahlian masing-masing. Misalnya, ada yang fokus di bagian logistik. Sementara itu, yang lain menangani urusan distribusi makanan. Ada pula yang khusus menjaga dapur tetap bersih. Koordinasi seperti ini membuat pekerjaan lebih efisien. Relawan menggunakan papan tulis untuk mencatat menu harian. Selain itu, mereka menempelkan jadwal piket di dinding. Dengan begitu, siapa pun bisa langsung tahu peran hari itu. Semua komunikasi dilakukan secara terbuka dan cepat. Jika ada kendala, mereka segera mencari solusi bersama. Oleh karena itu, konflik jarang sekali terjadi. Bahkan, dalam kondisi darurat, mereka tetap tenang. Relawan senior membimbing anggota baru dengan sabar. Selanjutnya, suasana saling menghargai terus terjaga sepanjang hari. Dapur umum ini bukan hanya tempat masak. Tapi juga ruang belajar bersama tentang kerja tim.
“Baca Juga : Inisiatif DPR Untuk Membuat Kebijakan Tenaga Kerja Driver Ojol di Era Prabowo Subianto”
Relawan memastikan stok dapur tidak pernah kosong. Mereka mencatat kebutuhan setiap hari dengan teliti. Sementara itu, para donatur rutin mengirim bantuan. Setiap dus mie instan dan beras diberi label tanggal. Dengan begitu, penggunaan bahan bisa dipantau akurat. Selain itu, relawan mengelompokkan bahan menurut jenisnya. Sayur-sayuran disimpan di kotak plastik berventilasi. Daging dan bahan basah ditempatkan di pendingin. Beberapa warga sekitar menyumbangkan hasil kebun mereka. Misalnya, daun kelor, cabai, dan pisang sering dikirim langsung. Oleh karena itu, menu makanan terasa lebih bervariasi. Tak jarang, relawan mencoba resep lokal dari ibu-ibu setempat. Dengan demikian, rasa masakan tetap dekat dengan lidah warga. Ketelitian dalam manajemen stok jadi faktor utama keberhasilan. Para relawan tidak ingin bahan terbuang sia-sia. Mereka menciptakan sistem rotasi yang sederhana namun efektif.
Selain menyajikan makanan, dapur umum jadi tempat curhat. Banyak warga datang untuk sekadar bercerita. Sementara itu, relawan dengan sabar mendengarkan keluh kesah. Mereka menyediakan kopi dan teh hangat setiap sore. Beberapa anak kecil bermain sambil menunggu giliran makan. Suasana terasa seperti ruang keluarga besar. Dengan demikian, rasa trauma sedikit demi sedikit mulai mereda. Para relawan tidak hanya bekerja dengan tangan. Tapi juga dengan hati yang terbuka. Dukungan emosional menjadi bagian penting dari misi mereka. Bahkan, beberapa relawan adalah penyintas bencana juga. Mereka memahami betul apa yang dirasakan warga. Oleh karena itu, pendekatan mereka terasa lebih tulus. Tidak ada jarak antara relawan dan penerima bantuan. Interaksi yang terjadi penuh empati dan keikhlasan. Inilah yang membuat dapur umum Lewotobi terasa berbeda.
“Simak juga: Bukti Kepedulian Sosial, Driver Ojol Ini Bikin Bangga”
Relawan mulai menggunakan teknologi untuk mempermudah pekerjaan. Mereka mencatat kebutuhan harian lewat aplikasi ponsel. Misalnya, ada tim khusus yang memakai Google Sheets. Data dibagikan langsung ke grup WhatsApp dapur. Selain itu, mereka memakai timer digital saat memasak. Dengan begitu, tingkat kematangan masakan lebih terkontrol. Sementara itu, relawan muda membuat sistem antrean digital. Warga cukup menekan nomor pada tablet kecil di meja depan. Oleh karena itu, kerumunan saat pembagian makanan bisa dihindari. Teknologi ini mereka rancang sendiri, tanpa biaya besar. Bahkan, seorang relawan menyambungkan listrik dari panel surya. Dengan demikian, mereka tetap bisa bekerja saat listrik padam. Solusi sederhana ini membuat dapur tetap berjalan lancar. Inovasi seperti ini muncul dari kebutuhan nyata di lapangan. Mereka membuktikan bahwa dengan kreativitas, keterbatasan bisa diatasi. Semua dilakukan demi mempercepat dan mempermudah pelayanan.